Selasa, 23 Juni 2015

Reaksi Bangsa Indonesia Terhadap Kolonialisme Dan Imperialisme Eropa

Nama  : Hanin Azizah
NIM    : 1113015000054
Kelas   : 4C/Geografi

Reaksi Bangsa Indonesia Terhadap
Kolonialisme Dan Imperialisme Eropa

Pengertian Kolonialisme
Kolonialisme adalah suatu usaha untuk melakukan system permukiman warga dari suatu Negara diluar wilayah Negara induknya atau Negara asalnya.
Pengertian Imperialisme
Imperialisme adalah usaha memperluas wilayah kekuasaan atau jajahan untuk mendirikan imperium atau kekaisaran.
Kolonialisme dan Imperialisme Barat di Indonesia
      Bentuk praktik Kolonialisme dan Imperialisme seperti menguasai perdagangan secara tunggal (monopoli) dan merampas atau menjelajah suatu negeri.
1.      Bangsa Portugis Menjajah Indonesia
Pada tahun 1512, bangsa Portugis yang dipimpin oleh Fransisco Serrao mulai berlayar menuju Kepulauan Maluku. Bahkan pada tahun 1521, Antonio de Brito diberi kesempatan untuk mendirikan kantor dagang dan beneng Santo Paolo di Ternate sebagai tempat berlindung dari serangan musuh. Orang-orang Portugis yang semula dianggap sebagai sahabat rakyat ternate berubah menjadi pemeras dan musuh.

2.      Bangsa Belanda Menjajah Indonesia
Proses penjajahan bangsa Belanda terhadap Indonesia memakan waktu yang sangat lama, yaitu mulai dari tahun 1602 sampai tahun 1942. Keinginan Belanda untuk melakukan monopoli dibidang perdagangan dikawasan Nusantara, ternyata tidak hanya merupakan keingan Belanda sendiri, tetapi juga negara lainnya, seperti Inggris. Bahkan Inggris telah mendahului langkah VOC dengan membentuk sebuah perserikatan dagang untuk kawasan Asia di tahun 1600 yang diberi nama EIC (East India Company), yang mana telah menimbulkan kekawatiran dikalangan para pedagang Belanda sehingga persaingan yang tadinya ada diantara mereka sendiri berubah menjadi kesepakatan untuk membentuk sebuah badan dagang guna membendung EIC.
Untuk menghilangkan persaingan antar pedagang Bealnda dan untuk mengahdapi persaingan dagang dengan bangsa Eropa lainya, maka pada tanggal 20 Maret 1602, atas prakarsa Pangeran Maurits dan Olden Barneveld didirikan kongsi perdagangan bernamaVerenigde Oost-Indische Compagnie-VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). Pengurus pusat VOC terdiri dari 17 orang. Pada tahun 1602 VOC membuka kantor pertamanya di Banten yang di kepalai oleh Francois Wittert.
Tujuan pendirian VOC ialah menghilangkan persaingan antara sesama pedagang Belanda, menyatukan pedagang Belanda, dan mencari keuntungan besar. VOC juga diberikan hak istimewa (octroi) seperti hak memonopoli perdagangan, mencetak uang, mengangkat dan memperhentikan pegawai, mengadakan perjanjian dengan raja-raja, memiliki tentara untuk mempertahankan diri dan juga membentuk angkatan perang, mendirikan benteng, menyatakan perang dan damai, mengangkat dan memberhentikan penguasa-penguasa setempat, wewenang untuk membuat undang-undang dan peraturan, serta membentuk pengadilan (Raad van Justitie) dan mahkamah agung (Hoog Gerechtshof).

Pengaruh Kolonialisme dan Imperialisme Barat di Berbagai Daerah di Indonesia
Kolonialisme dan Imperialisme mulai merebak di Indonesia sekitar abad ke-15, yaitu diawali dengan pendaratan bangsa Portugis di Malaka dan bangsa Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtmen pada tahun 1596, untuk mencari sumber rempah-rempah dan berdagang.
1.  Perlawanan Rakyat terhadap Portugis
Kedatangan bangsa Portugis ke Semenanjung Malaka dank e Kepulauan Maluku merupakan perintah dari negaranya untuk berdagang.
a.      Perlawanan Rakyat Maluku
Setelah Portugis pada tahun 1511 berhasil menduduki Malaka, Portugis melanjutkan misi dagangnya menuju Maluku. Di kepulauan Maluku terdapat Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore yang menghasilkan remah-rempah. Portugis diperbolehkan mendirikan benteng sebagai kantor dagang. Akan tetapi terjadi penyimpangan, Portugis menjadikan benteng itu sebagai basis pertahanan untuk menguasai dan menjajah daerah Ternate. Portugis memaksa Sultan Ternate, yaitu Sultan Hairun untuk menerima kekuasaan Portugis, dan hanya menjual cengkih dan pala kepada Portugis.
 Tentu saja sikap seperti ini sangat ditentang oleh Sultan Hairun. Ketika Sultan Hairun akan membicarakan masalah perdagangan dengan Portugis ini, beliau dibunuh secara licik. Terbunuhnya, Sultan Hairun jelas memancing kemarahan rakyat Ternate. Sultan Baabullah yang menggantikan Sultan Hairun bersumpah akan mengusir Portugis dari Ternate. Untuk itu, Sultan Baabullah mengerahkan tentara dan segenap kekuatannya mengepung benteng Portugis, hingga akhirnya Portugis menyerah dan dipaksa meninggalkan Ternate tahun 1575. Setelah terusir dari Ternate, kemudian Portugis ke Ambon hingga dikalahkan oleh Belanda pada tahun 1605.
b.      Perlawanan rakyat Demak
Tindakan Portugis yang memonopoli perdagangan rempah-rempah di Selat Malaka, sangat merugikan rakyat Indonesia di berbagai daerah, termasuk Demak. Keadaan ini mendorong rakyat Demak untuk bangkit mengadakan perlawanan terhadap Portugis. Raden Patah segera menyusun kekuatan untuk mengusir tentara Portugis yang ada di Malaka. Pada tanggal 1 Januari 1513, Kerajaan Demak mengirimkan pasukan yang berkekuatan 100 perahu dan 10.000 prajurit untuk menyerang Portugis di Malaka. Pasukan Demak dipimpin oleh Dipati Unus (Pangeran Sabrang Lor). Dalam serangan tersebut, tentara Demak tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, bahkan mereka mengalami kekalahan. Kekalahan tersebut disebabkan oleh persenjataan Portugis yang lebih lengkap dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki pasukan Demak. Pada tahun 1527, pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah kembali menyerang Portugis yang dipimpin oleh Henri Lame di Sunda Kelapa. Dalam pertempuran tersebut, Demak berhasil mengalahkan pasukan Portugis dan mengusir mereka dari Sunda Kelapa.

c.       Perlawanan rakyat Aceh
Kedudukan Portugis di Malaka merupakan ancaman bagi kerajaan-kerajaan islam di Indonesia, terutama Kerajaan Aceh yang daerah kekuasaannya berdekatan dengan Malaka. Pada saat itu, Aceh yang berada di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda mencapai puncak kejayaannya. Namun, sejak meninggalnya Sultan Iskandar Muda, keadaan Kerajaan Aceh mengalami kemunduran, terutama setelah adanya persaingan dengan para imperialis Barat (1630). Sejak tahun 1569, Portugis berusaha menghancurkan Aceh dengan mengepungnya selama tiga tahun. Tetapi, tentara Aceh berhasil menghancurkan Portugis. Hancurnya armada Portugis diawali dengan penyerangan terhadap kapal-kapal Portugis di selat Malaka oleh tentara Aceh. Serangan tersebut berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Kolonial Barat yang mencoba menjajah Aceh bukan hanya Portugis.

2. Perlawanan Rakyat terhadap Belanda (VOC)

a.      Perlawanan Rakyat Makasar
Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dilakukan oleh Kerajaan Gowa dan Tallo, yang kemudian bergabung menjadi Kerajaan Makassar. Kerajaan Makassar, mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintah Sultan Hasanuddin tahun 1654-1669. Abad ke-17 Makassar menjadi pesaing berat bagi Kompeni VOC pelayaran dan perdagangan di wilayah Indonesia Timur. Setelah mendapatkan berdagang, VOC mulai menunjukkan perilaku dan niat utamanya, yaitu mulai mengajukan tuntutan kepada Sultan Hasanuddin. Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni dibantu olehpasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Angakatan laut VOC, yang dipimpin oleh Spleeman. Pasukan Aru Palaka mendarat din Bonthain dan berhasil mendorog suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.
Factor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Aru Palaka. Membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC

b.      Perlawanan Pangeran Diponegoro
Sikap Belanda yang selalu turut campur terhadap pemerintahan kerajaan, sangat tidak disukai oleh Pangeran Diponegoro yang merupakan Bangsawan Kerajaan Mataram, terlebih lagi ketika melihat Belanda mulai menerapkan budaya-budaya Barat yang bertentangan dengan Agama Islam di lingkungan Keraton. Pangeran Diponegoro mulai menyusun kekuatan yang diawali dengan mengajak kalangan bangsawan yang sama-sama menentang Belanda. Kemudian ia pun mengajak rakyat yang telah menderita akibat kesewenang-wenangan Belanda untuk bergabung melawan penjajah. Untuk mendukung perjuangannya, Pangeran Diponegoro meninggalkan keraton dan menetap di Tegalrejo. Langkah tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa ia tidak suka pada sikap keraton dan Belanda. Sikap tersebut menimbulkan kekhawatiran dikalangan keraton dan Belanda.
Kebencian Pangeran Diponegoro kepada Belanda semakin besar dengan perbuatan Belanda yang mematok tanah makam leluhur Diponegoro untuk dijadikan jalan. Kemudian Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak-tombak sebagai tantangan kepada Belanda.
Akhirnya pada tanggal 25 Juni 1825, Belanda menyerang Diponegoro di Tegalrejo. Untuk mendukung perlawanan menghadapi Belanda, Pangeran Diponegoro dan pasukannya membangun benteng pertahanan di Selarong. Diponegoro dan pasukannya memiliki keyakinan bahwa ia dan pasukannya dapat mengalahkan Belanda. Keyakinan tersebut semakin kuat ketika orang-orang seperti Pageran Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirdjo, dan Kiai Mojo bergabung dalam perjuangannya. Kiai Mojo berhasil mengobarkan semangat jihad rakyat di daerah Yogyakarta, Surakarta, Bagelen, dan sekitarnya.Pada tahun 1826, terjadi pertempuran di Ngalengkong. Pasukan Pangeran Diponegoro mendapatkan kemenangan. Oleh para pengikutnya, Pangeran Diponegoro dinobatkan menjadi Sultan dengan gelar “Sultan Abdul Hamid Herutjokro Amirul Mukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa”.
Ketika berlangsung pertempuran di Gawok, terjadi perselisihan antara Pangeran Diponegoro dengan Kiai Mojo. Pangeran Diponegoro mengusulkan strategi perang gerilya dan mengusulkan agar permasalahan pemerintahan dengan keagamaan harus dipegang oleh satu orang, agar satu sama lain saling membantu dan tidak dapat dipisahkan. Namun, pandangan Pangeran Diponegoro bertolak belakang dengan pendapat Kiai Mojo yang mengusulkan agar masalah pemerintahan dan keagamaan harus dipisahkan. Mengenai Siasat perang, Kiai Mojo lebih menyukai perang terbuka.
Akibat dari perbedaan pendapat tersebut, akhirnya satu-persatu pengikut Pangeran Diponegoro meninggalkan Kiai Mojo, sedangkan Kiai Mojo dan Sentot Alibasyah yang sama-sama menginginkan perang terbuka pergi memisahkan diri. Pada akhir November 1828, Kiai Mojo ditangkap dan Sentot Alibsyah menyerah pada bulan Oktober 1828.  Perang Diponegoro telah menguras biaya dan jatuh banyak korban bagi pihak Belanda, begitu juga dipihak Pangeran Diponegoro. Untuk mengakhiri perang tersebut, mereka sepakat untuk berunding. Sekitar bulan Februari 1830, Kolonel Cleerens berhasil mengadakan perundingan dengan Pangeran Diponegoro. Perundingan dilanjutan pada bulan Maret 1830 di Magelang dengan Letnan Jenderal Hedrik Markus Baron de Kock. Namun, dalam perundingan tersebut Pangeran Diponegoro dikhianati oleh Belanda. Mereka menangkap Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya. Ia dibuang ke Manado, lalu dipindahkan ke Makasar. Pangeran Diponegoro meninggal dunia di sana pada tanggal 8 Januari 1855.

c.       Perang Sisingamangaraja XII (1870-1907)
Pada saat Sisingamangaraja memerintah Kerajaan Bakara, Tapanuli, Sumatera Utara, Belandadatang. Belanda ingin menguasai Tapanuli. Sisingamangaraja beserta rakyat Bakara mengadakan perlawanan. Tahun 1878, Belanda menyerang Tapanuli. Namun, pasukan Belanda dapat dihalau oleh rakyat. Pada tahun 1904 Belanda kembali menyerang tanah Gayo. Pada saat itu Belanda juga menyerang daerah Danau Toba. Pada tahun 1907, pasukan Belanda menyerang kubu pertahanan pasukan Sisingamangaraja XII di Pakpak. Sisingamangaraja gugur dalam penyerangan itu. Jenazahnya dimakamkan di Tarutung, kemudian dipindahkan ke Balige.

d.       Perang Aceh (1873-1906)
Sejak terusan Suez dibuka pada tahun 1869, kedudukan Aceh makin penting baik dari segi strategi perang maupun untuk perdagangan. Belanda ingin menguasai Aceh. Sejak tahun 1873 Belanda menyerang Aceh. Rakyat Aceh mengadakan perlawanan di bawah pemimpin-pemimpin Aceh antara lain Panglima Polim, Teuku Cik Ditiro, Teuku Ibrahim, Teuku Umar, dan Cut Nyak Dien. Meskipun sejak tahun 1879 Belanda dapat menguasai Aceh, namun wilayah pedalaman dan pegunungan dikuasai pejuang-pejuang Aceh. Perang gerilya membuat pasukan Belanda kewalahan. Belanda menyiasatinya dengan stelsel konsentrasi, yaitu memusatkan pasukan supaya pasukannya dapat lebih terkumpul. Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronje untuk mempelajari sistem kemasyarakatan penduduk Aceh. Dari penelitian yang dibuatnya, Hurgronje menyimpulkan bahwa kekuatan
Aceh terletak pada peran para ulama. Penemuannya dijadikan dasar untuk membuat siasat perang yang baru. Belanda membentuk pasukan gerak cepat (Marchose) untuk mengejar dan menumpas gerilyawan Aceh. Dengan pasukan marchose Belanda berhasil mematahkan serangan gerilya rakyat Aceh. Tahun 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh. Pasukan Cut Nyak Dien yang menyingkir ke hutan dan mengadakan perlawanan juga dapat dilumpuhkan. Dari beberapa perlawanan yang dilakukan oleh rakyat di berbagai daerah pada awalnya mengalami kemenangan tetapi pada akhirnya mengalami kekalahan. Hal itu disebabkan karena beberapa hal antara lain :
1.      Rakyat tidak bersatu, tetapi berjuang secara kedaerahan
2.      Rakyat mudah diadu domba, ingat politik devide et impera (politik adu domba)
3.      Kurangnya persenjataan


Nilai Informatif
Pada awalnya, kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia diterima dengan baik oleh rakyat Indonesia. Namun, semakin lama bangsa-bangsa Eropa tersebut menunjukan sikap yang kasar. Selain itu, mereka mulai menguasai dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Lambat-laun rakyat Indonesia mulai menunjukan sikap permusuhan kepada kekuasaan bangsa Eropa. Perlawanan demi perlawanan dilakukan oleh rakyat Indonesia.
Berikut ini adalah faktor-faktor yang mendorong rakyat Indonesia melakukan perlawanan:
1.      Sikap bangsa Barat yang ingin menguasai kekayaan alam dan menjajah rakyat Indonesia
2.      Keinginan untuk hidup aman dan tenteram.
3.      Keinginan untuk berdaulat di wilayah sendiri.
4.      Sistem kolonialisme dan imperialisme sangat membelenggu kehidupan rakyat Indonesia.
Walaupun berbagai perlawanan telah dilakukan oleh rakyat dan penguasa di berbagai daerah, namun selalu mengalami kegagalan. Faktor-faktor penyebab kegagalan rakyat Indonesia dalam melawan penjajah adalah sebagai berikut:
1.      Sumber daya manusia bangsa Indonesia yang lemah jika dibandingkan dengan sumber daya manusia bangsa Barat (penjajah).
2.      Perjuangan dalam melawan penjajah kurang terorganisir.
3.      Kurangnya sarana komunikasi antardaerah, sehingga tidak ada gerakan serempak untuk melawan penjajah.
4.      Semakin kuatnya unsur kedaerahan, sehingga rakyat mudah dipecah-belah oleh penjajah.
5.      Senjata yang dimiliki Indonesia kalah canggih dengan bangsa Barat

Nilai Edukatif
Nilai pendidikan yang dapat diambil dari reaksi dan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme bangsa asing yaitu apabila kita memiliki sesuatu cita-cita yang mengandung nilai-nilai kebenaran maka haruslah kita perjuangkan. Risiko dan tantangan apa pun harus kita hadapi dalam memperjuangkan sebuah kebenaran. Apabila kita sungguh-sungguh dan serius dalam memperjuangkan sebuah kebenaran, maka pada suatu saat perjuangan kita akan ada hasilnya.

Nilai Inspiratif
Reaksi bangsa Indonesia terhadap kaum kolonialisme dan imperialisme dalam mempertahankan wilayah Indonesia patut diteladani. Semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi kepentingan bangsa yang lebih besar. Mereka tidak hanya mengorbankan harta benda yang mereka miliki, tetapi juga rela mengorbankan jiwa dan raga mereka hanya untuk hidup aman dan tentram dan juga untuk berdaulat di wilayah sendiri. Kesadaran politik yang muncul dalam semangat perjuangan mereka, telah menjauhkan pikiran, sikap dan tindakan mereka dari kepentingan-kepentingan yang bersifat kepentingan golongan, kelompok apalagi individu.





5 komentar: